Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik Sebuah Prosa
Yang dimaksud unsur-unsur instrinsik dalam sebuah prosa adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur instrinsik karya sastra dalam bentuk prosa adalah sebagai berikut :
1. Tema
Gagasan, ide, atau pikiran
utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Atau gampangnya, tema
adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau
sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita.
Tema merupakan jiwa dari
seluruh bagian cerita. Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh
cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran
peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur
intrinsik yang lain.
Tema ada yang dinyatakan
secara eksplisit (disebutkan) dan ada pula yang dinyatakan secara implisit
(tanpa disebutkan tetapi dipahami).
Dalam menentukan tema,
pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: minat pribadi, selera
pembaca, dan keinginan penerbit atau penguasa.
Dalam sebuah karya sastra,
disamping ada tema sentral, seringkali ada pula tema sampingan. Tema sentral
adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Adapun
tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.
2. Amanat
Amanat adalah ajaran moral
atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana
tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan
ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada
tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit
yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau
larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
3. Tokoh
Tokoh adalah individu
ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam
berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, namun dapat
pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Tokoh dapat dibedakan
menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh
yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh yang
membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.
2. Tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan
perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai
negatif.
Adapun tokoh bawahan adalah
tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
1. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi
kepercayaan tokoh sentral (baik protagonis ataupun antagonis).
2. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang
peran dalam peristiwa cerita.
3. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau
berfungsi sebagai latar cerita saja.
Penokohan adalah penyajian
watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode penyajian watak tokoh,
yaitu:
1. Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu
penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
2. Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu
penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang
disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran
lingkungan atau tempat tokoh.
Adapun menurut Jakob
Sumardjo dan Saini KM, ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu:
1. Melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana
ia bersikap dalam situasi kritis.
2. Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh
tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
3. Melalui penggambaran fisik tokoh.
4. Melalui pikiran-pikirannya
5. Melalui penerangan langsung
4. Alur (Plot)
Alur adalah urutan atau
rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal,
yaitu:
1. Berdasarkan urutan waktu terjadinya
(kronologi). Alur yang demikian disebut alur linear.
2. Berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal).
Alur yang demikian disebut alur kausal.
3. Berdasarkan tema cerita. Alur yang demikian
disebut alur tematik. Dalam cerita yang beralur tematik, setiap peristiwa
seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita
tersebut masih dapat dipahami.
Adapun struktur alur adalah
sebagai berikut:
1. Bagian
awal, terdiri atas: 1) paparan (exposition), 2) rangsangan (inciting moment),
dan 3) gawatan (rising action).
2. Bagian
tengah, terdiri atas: 4) tikaian (conflict), 5) rumitan (complication), dan 6)
klimaks.
3. Bagian
akhir, terdiri atas: 7) leraian (falling action), dan 8- selesaian
(denouement).
Dalam membangun alur, ada
beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis.
Faktor-faktor penting tersebut adalah:
1. Faktor kebolehjadian. Maksudnya,
peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya tidak selalu realistik tetapi masuk akal.
2. Faktor
kejutan. Maksudnya, peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak
/ dikenali oleh pembaca.
3. Faktor
kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan
terjadi.
Kombinasi atau variasi
ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan alur menjadi dinamis.
Adapun hal yang harus
dihindari dalam alur adalah lanturan (digresi). Lanturan adalah peristiwa atau
episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok
persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.
5. Latar
(setting)
Latar adalah segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana,
dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok:
1. Latar
tempat, mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi.
2. Latar
waktu, berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
3. Latar
sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat
di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial bisa mencakup
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, serta status sosial.
6. Sudut
pandang (point of view)
Sudut pandang adalah cara
memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada
posisi tertentu. Dalam hal ini, ada dua macam sudut pandang yang bisa dipakai:
a. Sudut pandang orang pertama (first person point of view)
Dalam pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’, narator adalah seseorang yang
ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ‘aku’ tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan, yang diketahui,
dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh)
lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara
terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ‘aku’ tersebut.
Sudut pandang orang pertama
masih bisa dibedakan menjadi dua:
1. ‘Aku’
tokoh utama. Dalam sudut pandang teknik ini, si ‘aku’ mengisahkan berbagai
peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniyah, dalam
diri sendiri, maupun fisik, dan hubungannya dengan sesuatu yang di luar
dirinya. Si ‘aku’ menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu
yang di luar diri si ‘aku’, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya
jika berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih
masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian, si ‘aku’ menjadi
tokoh utama (first person central).
2. ‘Aku’
tokoh tambahan. Dalam sudut pandang ini, tokoh ‘aku’ muncul bukan sebagai tokoh
utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ‘aku’
hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang
dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai
pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang
kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan
berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah
cerita tokoh utama habis, si ‘aku’ tambahan tampil kembali, dan dialah kini
yang berkisah. Dengan demikian si ‘aku’ hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi
terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ‘aku’ pada
umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
b. Sudut pandang orang ketiga (third person point of view)
Dalam cerita yang
menpergunakan sudut pandang orang ketiga, ‘dia’, narator adalah seorang yang
berada di luar cerita, yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya
yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan
kata ganti.
Sudut pandang ‘dia’ dapat
dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan
pengarang terhadap bahan ceritanya:
1. ‘Dia’
mahatahu. Dalam sudut pandang ini, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal
yang menyangkut tokoh ‘dia’ tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat
mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan
tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan
menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah
dari tokoh ‘dia’ yang satu ke ‘dia’ yang lain, menceritakan atau sebaliknya
”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa
pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya
ucapan dan tindakan nyata.
2. ‘Dia’
terbatas (‘dia’ sebagai pengamat). Dalam sudut pandang ini, pengarang
mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya,
terbatas pengetahuannya (hanya menceritakan apa yang dilihatnya saja).
7. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah teknik
pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang
hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi (pemilihan kata)
yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang membentuk gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan cara
pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan
sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang
tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera
pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitamya.
Gaya bahasa dapat
menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris, simpatik,
menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang
tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain.
Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik
meliputi:
1. Nilai-nilai
dalam cerita (agama, budaya, politik, ekonomi)
2. Latar
belakang kehidupan pengarang
3. Situasi
sosial ketika cerita itu diciptakan